Tautan File Keseluruan " Participatory Rural Appraisal (PRA) Dalam Evaluasi Pembangunan"
http://www.4shared.com/office/CqB01q2w/Paper_keseluruan.html
Fachrul Blogger
Selasa, 11 Juni 2013
Participatory Rural Appraisal (PRA) Dalam Evaluasi Pembangunan
Pengertian Participatory
Rural Appraisal (PRA)
PRA yang dikembangkan
oleh Robert Chamber lebih ditunjukkan untuk orang luar, bagaimana srharusnya
orang luar yan gmembantu masyarakat untuk mengembangkan dirinya, mendudukan
posisinya ditengah-tengah masyarakat. Orang luar ini bisa para pegawai
pemerintah, anggota LSM, orang-orang Perguruan Tinggi dll. PRA itu sendiri
menurutnya adalah metode yang mendorong masyarakat pedesaan/pesisir untuk turut
serta meningkatkan pengetahuan dan menganalisa kondisi mereka sendiri,
wilayahnya sendiri yang berhubungan dengan hidup mereka sehari-hari agar dapat
membuat rencana dan tindakan yang harus dilakukan, dengan cara pendekatan
berkumpul bersama.
Selain itu, Participatory Rural
Appraisal (PRA) merupakan suatu metode pendekatan
dalam proses pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat, yang
tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan pembangunan. Pendekatan PRA bercita-cita menjadikan
warga masyarakat sebagai peneliti, perencana, pelaksana program pembangunan dan bukan sekedar obyek
pembangunan.
Penerapan Participatory
Rural Appraisal (PRA)
Participatory Rural
Appraisal (PRA) atau Pemahaman
Partisipatif Kondisi Pedesaan (PRA) adalah pendekatan dan metode yang
memungkinkan masyarakat secara bersama-sama menganalisis masalah kehidupan
dalam rangka merumuskan perencanaan dan kebijakan secara nyata. Metode dan
pendekatan ini semakin meluas dan diakui kegunaannya ketika paradigma pembangunan
berkelanjutan mulai dipakai sebagai landasan pembangunan di negara-negara
sedang berkembang.
Dalam paradigma
pembangunan berkelanjutan, manusia ditempatkan sebagai inti dalam proses
pembangunan. Manusia dalam proses pembangunan tidak hanya sebagai penonton
tetapi mereka harus secara aktif ikut serta dalam perencanaa, pelaksanaan,
pengawasan dan menikmati hasil pembangunan. Metode dan pendekatan yang
tampaknya sesuai dengan tuntutan paradigma itu adalah metode dan pendekatan
yang partisipatif.
Metode PRA mulai menyebar dengan cepat pada
tahun 1990-an yang merupakan bentuk pengembangan dari metode Pemahaman Cepat
Kondisi Pedesaan (PCKP) atau Rapid Rural Appraisal (RPA) yang
menyebar pada tahun 1980-an. Kedua metode tersebut saling berhubungan erat dan
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya dan bisa saling melengkapi.
Namun dalam perkembangannya, metode PRA banyak digunakan dalam proses
pelaksanaan program pembangunan secara partisipatif, baik pada tahap
perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasannya. Selain itu, untuk menjalankan
proses partisipasi di dalam merumuskan perencanaan dan kebijakan terdapat
beberapa jenis partisipatif maupun pendekatan-pendekatan, agar proses
partisipasi tersebut dapat berjalan dengan baik, yang mana dapat dilihat pada
tabel 1.1
Tabel 1. 1 Pendekatan-Pendekatan Untuk Memajukan Partisipasi
No
|
Jenis Partisipatif
|
Pendekatan
|
Penjelasan
|
1
|
Partisipasi Pasif, pelatihan
dan informasi
|
Pendekatan "kami
lebih tahu apa yang
baik bagimu”
|
Tipe komunikasi satu arah seperti antara guru
dan muridnya yang diterapkan diantara staf proyek dan masyarakat
setempat pada saat kunjungan ke desa. Paket-paket teknis yang berbeda
diiklankan kepada masyarakat untuk menerimanya
|
2
|
Sesi partisipasi aktif
|
Pendekatan
"pelatihan dan
kunjungan"
|
Dialog dan komunikasi dua arah memberikan
kepada masyarakat kesempatan untukberinteraksi dengan
penyuluh / petugas dan pelatih dari luar.
|
3
|
Partisipasi dengan
keterikatan
|
Pendekatan "kontrak,
tugas yang dibayar":bila Anda
melakukanini, maka proyek
akan melakukan itu.
|
Masyarakat setempat, baik sebagai pribadi
ataupun kelompok kecil, diberikan pilihan untuk terikat pada
sesuatu dengantanggungjawab atas setiap kegiatan pada masyarakat dan
juga pada proyek. Model ini memungkinkan untuk beralih dari modelklasik
ke model yang diberi subsidi, panitiasetempat bertanggungjawab
ataspengorganisasian dan pelaksanaan tugas. Manfaatnya, dapat
dibuat modifikasi seiring tujuan yang diinginkan.
|
4
|
Partisipasi atas permintaan
setempat
|
Pendekatan PRA dan kegiatan penelitian,pendekatan yang
didorong oleh
permintaan
|
Kegiatan proyek lebih berfokus pada
menjawab kebutuhan yang dinyatakan oleh masyarakat setempat, bukan
kebutuhan yang dirancang dan disuarakan oleh orang luar. Kegiatan
bukanlah proyek yang tipikal; tidak ada jadual untuk intervensi
fisik; tidak ada anggaran untuk suatu periode tertentu; tidak ada
rencana pelaksanaan atau struktur proyek; dan tidak ada komando
satu arah dari proyek kepada kelompok sasaran.Masalahnya: bagaimana
masyarakat setempat dapat memberi perhatian terhadap sesuatu yang baru dan berbeda, apabila
sebelumnya mereka tidak
mengetahui apapun mengenai apa yang akanterjadi. Metode
yang dipakai adalah motivasi dan animasi, bukan 'menjual atau
mendorong'. Pertanyaan sukarela dan permintaan untuk bantuan serta
lebih banyak informasi jelas diperlukan.
|
Tujuan Penerapan Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)
Pada intinya Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah
sekelompok pendekatan atau metode yang memungkinkan masyarakat desa untuk
saling berbagi, meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang
kondisi dan kehidupan desa, serta membuat rencana dan tindakan nyata (Chambers,
1996).
Metode tersebut
dipandang telah memiliki teknis-teknis yang dijabarkan cukup operasional dengan
konsep bahwa keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam seluruh kegiatan.
Pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) memang bercita-cita menjadikan
masyarakat menjadi peneliti, perencana, dan pelaksana pembangunan dan bukan
sekedar obyek pembangunan. Tekanan aspek penelitian bukan pada validitas data
yang diperoleh, namun pada nilai praktis untuk pengembangan program itu
sendiri. Penerapan pendekatan dan teknik PRA dapat memberi peluang yang lebih
besar dan lebih terarah untuk melibatkan masyarakat. Selain itu melalui
pendekatan PRA akan dapat dicapai kesesuaian dan ketepatgunaan program dengan
kebutuhan masyarakat sehingga keberlanjutan (sustainability) program
dapat terjamin.
Prinsip-Prinsip Participatory Rural Appraisal (PRA)
Untuk mendapatkan
kinerja yang baik di dalam evaluasi pembangunan dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA), para praktisi
dan fasilitator perlu mengikuti prinsip-prinsip dasar. Ada beberapa prinsip yang
ditekankan dalam Participatory Rural Appraisal (PRA), antara lain:
1. Saling belajar dari kesalahan dan berbagi pengalaman dengan masyarakat.
2. Keterlibatan semua anggota kelompok, menghargai perbedaan, dan informal.
3. Orang luar sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku.
4. Konsep triangulasi
5. Optimalisasi hasil
6. Berorientasi praktis
7. Keberlanjutan program
8. Mengutamakan yang terabaikan
9. Pemberdayaan (Penguatan) masyarakat
10. Santai dan informal
11. Keterbukaan
Sumber-Sumber Participatory Rural Appraisal (PRA)
Menurut
Robert Chambers, terdapat 5 sumber perkembangan Participatory Rural Appraisal (PRA),
yang masing-masing memberikan sumbangan konsep maupun metode yang ditampilkan
secara ringkas sbb:
Tabel 1.2 Sumber Perkembangan Participatory Rural Appraisal (PRA)
No
|
Sumber
|
Sumbangannya
|
1
|
Penelitian partisipatif
radikal
(Activist
Participatory
Research)
|
Sumbangannya berupa
konsep-konsep/pemikiran tentang
masyarakat miskin,
terutama gagasan-gagasan pokok berikut ini:
§ Kaum miskin memiliki
kemampuan untuk melakukan analisis dan menyusun perencanaan sendiri;
§ Kaum miskin (marjinal)
bisa memiliki peran sebagai anggota,
|
katalis, dan fasilitator;
§
Mereka
yang lemah harus diberdayakan.
|
||
2
|
Analisis agroekosistem
(Agroecosystem
Analysis)
|
Sumbangannya berupa
metode-metode sebagai berikut:
§ Transek (observasi
lapangan, berjalan-jalan untuk melakukan pengamatan secara sistematis);
§ Pemetaan informal
(sketsa desa/wilayah langsung di lokasi);
§ Pembuatan diagram
(kalender musim, bagan arus dan sebab-akibat, diagram venn);
§ Penilaian inovasi
(pemberian nilai dan skala urutan kegiatan).
|
3
|
Antropologi terapan (Applied
Anthropology)
|
Sumbangannya berupa
konsep-konsep/pemikiran, antara lain
sbb:
§ Belajar di lapangan
merupakan suatu seni yang luwes dan bukan suatu ilmu pengetahuan yang kaku;
§ Sikap, tingkah laku,
dan dan pengembangan hubungan dengan masyarakat memiliki arti yang penting
dalam kerja lapangan;
§ Adanya perbedaan antara
emic (sudut pandang masyarakat) dan ethic (sudut pandang orang
luar);
§ Ilmupengetahuan teknis
setempat memiliki kesahihan.
|
4
|
Penelitian Lapang
tentang
Sistem Usaha Tani (Field
Research on Farming
Systems)
|
Sumbangannya berupa
metode-metode kajian sistem usaha tani
oleh petani itu
sendiri, antara lain diagram alir. Selain itu,
menyumbang pemahaman
tentang hal-hal sbb.:
§ Kompleksitas,
keragaman, dan kerentanan terhadap resiko dari berbagai sistem usaha tani;
§ Pengetahuan,
profesionalisme, dan rasionalitas para petani kecil dan petani miskin;
§ Pola pikir dan perilaku
eksperimental petani;
§ Kemampuan petani untuk
melakukan analisis sendiri.
|
5
|
Pengkajian Desa secara
Cepat (Rapid Rural
Appraisal/RRA)
|
Sumbangannya berupa 2
hal utama:
§ Kritik tentang
penelitian akademis dan wisata pembangunan yang memiliki berbagai bias dalam
memahami persoalan dan situasi masyarakat (pedesaan), serta kritik terhadap
metode survey konvensional yang mahal, lama, dan tidak tepatguna.
§ Pencarian metode-metode
pengkajian yang lebih efektif untuk memahami pengetahuan lokal (indigenous
technical knowledge).
|
Struktur Program Participatory Rural
Appraisal (PRA)
Karena tujuan penerapan
metode PRA adalah pengembangan program bersama masyarakat, penerapannya perlu
senantiasa mengacu pada siklus pengembangan program. Gambaran umum siklus
tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut :
a. Pengenalan masalah/kebutuhan dan potensi, dengan maksud untuk menggali
informasi tentang keberadaan lingkungan dan masyarakat secara umum.
b. Perumusan masalah dan penetapan prioritas guna memperoleh rumusan atas
dasar masalah dan potensi setempat.
c. Identifikasi alternatif pemecahan masalah atau pengembangan gagasan guna
membahas berbagai kemungkinan pemecahan masalah melalui urun rembug masyarakat.
d. Pemilihan alternatif pemecahan yang paling tepat sesuai dengan kemampuan
masyarakat dan sumber daya yang tersedia dalam kaitannya dengan swadaya.
e. Perencanaan penerapan gagasan dengan pemecahan masalah tersebut secara
konkrit agar implementasinya dapat secara mudah dipantau.
f. Penyajian rencana kegiatan guna mendapatkan masukan untuk penyempurnaannya
di tingkat yang lebih besar.
g. Pelaksanaan dan pengorganisasian masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan
tingkat perkembangan masyarakat.
h. Pemantauan dan pengarahan kegiatan untuk melihat kesesuaiannya dengan
rencana yang telah disusun.
i. Evaluasi dan rencana tindak lanjut untuk melihat hasil sesuai yang
diharapkan, masalah yang telah terpecahkan, munculnya massalah lanjutan, dll.
Permasalahan Participatory Rural Appraisal (PRA)
Meningkatnya secara
cepat popularitas Participatory
Rural Appraisal (PRA) dikhawatirkan menyebabkan sedemikian
terburu-burunya menerima gagasan ini tanpa pemahaman yang cukup mendasar akan
prinsip dasar yang ada yang kemudian diikuti dengan harapan yang terlalu tinggi
akan keampuhan PRA. Oleh karenanya beberapa masalah yang timbul akibat
merebaknya penggunaan metode PRA adalah :
a. Permintaan melampaui kemampuan akibat metode ini dilatihkan dalam forum
yang formal tanpa cukup kesempatan untuk menghayati dan mendalami prinsip yang
mendasarinya.
b. Kehilangan tujuan dan kedangkalan hasil akibat penerapan yang serampangan
di lapangan tanpa tujuan yang jelas.
c. Kembali menyuluh akibat petugas tidak
siap untuk memfasilitasi partisipasi masyarakat. Menjadi penganut fanatik
karena tidak munculnya improvisasi dan variasi petugas untuk menggali lebih
dalam permasalahan di masyarakat.
d. Mengatasnamakan PRA untuk kegiatan yang sepotong-potong di luar konteks
program pengembangan masyarakat.
e. Terpatok waktu akibat program yang berorientasi pada target (teknis,
administratif).
f. Kerutinan yang dapat membuat kegiatan tidak hidup lagi sehingga terjebak
dalam pekerjaan yang rutin dan membosankan.
Teknik-Teknik Penerapan Participatory Rural Appraisal (PRA)
Dalam perkembangannya telah banyak
dikembangkan beberapa teknik PRA yang pada intinya merupakan bentuk
implementasi dari metode PRA. Sudah barang tentu teknik teknik yang
dikembangkan tersebut disesuaikan dengan maksud dan tujuan penerapan metode PRA
sendiri, serta semestinya tidak menutup kemungkinan atau bahkan dapat
disebutkan mengharuskan adanya improvisasi dan modifikasi terhadap metode PRA
itu sendiri.
Teknik-teknik PRA adalah alat-alat
untuk melakukan kajian keadaan desa. Teknik-teknik ini berupa alat visual
(gambar atau bentuk yang dapat dilihat) yang dipergunakan sebagai media diskusi
masyarakat tentang keadaan diri mereka sendiri dan lingkungannya.
Alat-alat visual ini merupakan media belajar bersama yang dipergunakan baik
untuk masyarakat. Kajian PRA dapat dilakukan sebagai penjajagan kebutuhan
dan perencanaan kegiatan, atau dapat juga untuk pemantauan dan evaluasi
kegiatan. Teknik-teknik kajian PRA selama ini lebih banyak dipergunakan
untuk perencanaan kegiatan / program. Beberapa teknik penerapan PRA antara
lain :
a. Penelusuran Alur
Sejarah,
b. Penelusuran
Kebutuhan Pembangunan,
c. Analisis Mata
Pencaharian,
d. Penyusunan Rencana
Kegiatan,
e. Focus Group
Discussion,
f. Pemetaan,
dll.
Studi Kasus Penerapan Participatory Rural Appraisal (PRA)
Konsolidasi Tanah: Studi Kasus Kecamatan Gedebage, Kota Bandung
Bandung
kini telah menjadi salah satu kota metropolitan di Indonesia yang menghadapi
berbagai permasalahan tanah perkotaan. Seiring dengan perkembangan tersebut,
kota Bandung menjadi pusat Metropolitan Bandung Raya atau Bandung Metropolitan
Area (BMA). Perkem bangan tersebut diikuti dengan pertumbuhan penduduk,
perkembangan kota, dan bertambahnya aktivitas kota. Pada sisi lain,
perkembangan kota ini ternyata hanya terjadi pada Bandung bagian barat. Kondisi
ini mengakibatkan meningkatnya kesenjangan antar wilayah terutama dengan
Bandung bagian timur. Di sisi lain, beban Bandung bagian barat semakin berlebih
dan mengakibatkan penataan kota kurang terpelihara baik (RTRW Kota Bandung,
2004).
Atas
dasar kondisi tersebut, pemerintah kota Bandung merencanakan pengembangan pusat
primer kedua di Gedebage. Menurut Restra Kota Bandung, 2004, pengembangan
Gedebage ini ditujukan untuk menjawab kesenjangan wilayah dan kebutuhan ruang
yang semakin tinggi. Hal ini diperkuat dengan pro gram pengembangan Gedebage
pada tahun 2004-2008. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Bandung
Nomor 06 Tahun 2004, tujuan kegiatan kawasan Gedebage pada tahun 2004-2008 adalah
meliputi penyusunan rencana pengembangan kawasan Gedebage, sosialisasi rencana
pengembangan kawasan Gedebage, pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur
kota, pembangunan akses tol Gedebage, pembangunan prasarana dan sarana
pendukung pengembangan kawasan Gedebage. Pada proses pengembangan kawasan Kecamtan
Gedebage, ternyata memiliki beberapa kendala yang harus dihadapi. Beberapa
masalah tersebut adalah masalah sosial, sumber daya manusia, kelembagaan, dan
masalah lingkungan. Masalah lingkungan merupakan kendala yang paling menghambat
dalam pengembangan kawasan Gedebage. Berdasarkan hasil kajian Dinas Tata Ruang
dan Cipta Karya 2009, masalah tersebut adalah masalah banjir, prasarana jalan
yang rusak, kebisingan, dan peningkatan pencemaran udara.
Salah
satu upaya yang dinilai efektif mampu mengatasi masalah di atas adalah
pengaturan tataguna tanah. Pengaturan tataguna tanah ini bertujuan untuk menata
kembali penggunaan lahan, sehingga masalah yang ada dapat teratasi. Salah satu
instrumen penting dalam pengaturan tataguna tanah adalah teknik konsolidasi
tanah dengan melakukan penerapan Participatory Rural Appraisal (PRA).
Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan program penataan tanah secara keseluruhan
dan dinilai mampu mengatasi masalah yang berkembang di Gedebage. Program ini
didasarkan atas hasil kesepakatan bersama. Oleh karenanya, merumuskan
kesepakatan bersama menjadi tantangan yang perlu diberi perhatian lebih.
Keberhasilan dalam program ini adalah penataan atas kepemilikan tanah, sehingga
lahan lebih tertata.
Atas
dasar tersebut, maka tujuan pelaksanaan program konsolidasi tanah di Gedebage
adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses penataggunaan
lahan dan pembangunan, memberikan arahan dalam proses perbaikan lingkungan dan
penatagunaan lahan yang lebih baik, sehingga menunjang pembangunan Gedebage
sebagai pusat primer baru, memadukan konsep penataan ruang berdasarkan
perencanaan pemerintah, aspirasi masyarakat, dan kepentingan swasta.
Adapun
proses realisasi penyelesaian masalah dilakukan guna mencapai tujuan dengan
jalan, sebagai berikut:
a.
Survei
Survei
dilakukan pada masyarakat, pemerintah, dan swasta berkaitan dengan masalah
kawasan Gedebage dan pengembangan Survei juga dilakukan guna mencari
kemungkinan-kemungkinan dilaksanakannya program konsolidasi tanah. Survei
dilakukan di lapangan dengan menggunakan kuesioner dan teknik wawancara. Hasil
survei menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat belum dilakukan secara optimal;
kondisi fisik kawasan Gedebage belum tertata; lingkungan fisik yang
rusakmeliputi sarana jalan, ruang terbuka hijau (RTH), fasilitas umum. Survei
dilakukan dalam beberapa tahapan survei, yaitu:
(1)
Survei pendahuluan guna mengidentifikasi masalah;
(2)
Survei hasil wawancara bersama masyarakat;
(3)
Survei akhir (penentuan titik temu).
b.
Sosialisasi
Secara
singkat, sosialisasi merupakan upaya belajar sosial individu untuk menyesuaikan
kondisi, situasi, dan sinergisitas antara kebutuhan individu dengan tuntutan
eksternalnya. Sosialisasi didefinisikan juga sebagai proses belajar sosial dan
merupakan proses yang berlangsung sepanjang hidup (lifelong process),
bermula sejak lahir hingga mati. Proses sosialisasi itu terjadi dalam kelompok
atau institusi sosial di dalam masyarakat (Liliweri, 2001).
Dalam
kegiatan ini, sosialisasi dilakukan dalam enam tahapan sosialisasi, yaitu :
(1.) Sosialisasi
tahap awal, pada tahapan ini dibahas identifikasi masalah awal dan deskripsi
kondisi wilayah.
(2.)
Sosialisasi perencanaan konsolidasi tanah dengan warga masyarakat.
(3.) Sosialisasi
hasil survei dan wawancara dengan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (Distarcip).
Pertemuan ini bertujuan untuk membuat problem solving yang lebih
menyeluruh.
(4.)
Sosialisasi perlindungan hukum dalam proses konsolidasi tanah.
(5.) Sosialisasi
arahan konsolidasi tanah yang akan dilaksanakan dan tahapan pelaksanaan
konsolidasi.
(6.) Sosialisasi
arahan Ruang Terbuka Hijau (RTH), RTH yang dibangun difokuskan pada pembuatan
RTH publik.
c.
Focus Group Discussion (FGD)
Focus Group Discussion (FGD)
merupakan metode yang dilakukan untuk menyelesaikan
masalah dengan jalan mendiskusikan satu isu penting secara bersamasama. FGD dilakukan
dalam 2 tahap antra lain :
ü Pertama,
dalam rangka membahas lahan-lahan apa saja yang akan dikonsolidasikan. Hasil
dari FGD pada tahapan ini adalah bahwa lahan perumahan, perkantoran,
pabrik, pertanian, sarana publik (lapangan, sekolah, puskesmas) merupakan
penggunaan lahan yang tidak dapat di konsolidasikan. Lahan yang dapat
dikonsolidasikan terbatas pada penyediaan RTH.
ü Pada
tahap kedua , FGD dilakukan untuk menentukan rancangan RTH
publik. Konsolidasi tanah akhirnya diupayakan dalam proses penyediaan ruang
terbuka hijau (RTH).
Sehingga
hasil dari Focus Group Discussion (FGD) Ini menjadi titik temu
antar berbagai pihak yaitu menentukan rancangan RTH publik. Dikarenakan RTH
merupakan kepentingan bersama, selain itu upaya perbaikan mutu lingkungan juga
ditekankan pada perlindungan lahan pertanian dari ancaman alih fungsi lahan.
Hal ini karena lahan pertanian mampu memberikan ruang bagi limpasan air
sehingga ancaman banjir dan kerusakan lingkungan dapat diminimalkan.
untuk
lebih jelasnya proses realisasi penyelesaian masalah konsolidasi tanah di
Kecamatan Gedebage, Kota Banndung, dapat dilihat pada gambar 1.2
Daftar Pustaka
(Akses upload : Minggu, 8
juni 2013)
(Akses upload : Minggu, 8
juni 2013)
(Akses upload : Minggu, 9
juni 2013)
(Akses upload : Minggu, 10
juni 2013)
Langganan:
Postingan (Atom)